Monday, January 30, 2012

Rumah Kaca


Dulu sekali, Pram menyebut ini sebagai politik ‘perumahkacaan’. Dimana setiap tindak yang digiatkan oleh para aktivis pergerakan pada waktu itu akan dimonitor, diawasi. Pemerintah kolonial menebar mata radar mereka disetiap manapun untuk merekam seluruh aktivitas dan pemikiran-pemikiran yang ditulis-sebar melalui surat kabar oleh para aktivis tersebut untuk kemudian diarsipkan, hingga pada kalanya apabila suatu aktivitas telah difatwa mengancam sekilas akan dihabisi.

Hari ini aku melihat sedikit kesamaan: kamu dan para aktivis itu, aku dan para penyebar mata radar itu. Kamu masuk dalam rumah kacaku, kurumah-kacakan. Hanya karena kamu berbeda dari kebanyakan mereka, itulah pembenaran yang kutemukan. Kamu, tulisanmu dan juga buah-buah pikiranmu telah menjadi candu bagiku. Selain makan, tidur dan segala rutinitas statis lainnya, kini kutambahkan rutinitas hariku, sekedar beberapa menit aku tak akan lupa untuk mendamparkan diri ke pulau mayamu. Pulau tempat buah pikiranmu kau semai. Inilah aku, aku yang ingin menjadi saksi benih-benih itu tumbuh. Dan ada kalanya kucuri diam-diam biji dari sana untuk kutanam ditanah gersangku. Entah, jika ini salah, aku hampir tak peduli. Jangan larang aku. Biarkan tanahku ikut menghijau.

Friday, January 27, 2012

"Meledakkan" Senayan 31 Januari Besok



HP yang diam manis didalam saku  tiba-tiba bergetar. Demi hal seremeh-temeh eksistenisal, bergegas saya keluarkan dari saku lalu mengecek dan heyho, ternyata ada sepucuk sms dari seorang kawan lama, Amek.

“ANTI-FLAG live in Jakarta Indonesia at Bulungan Outdor 31 Januari 2012 start at 15.00 WIB. Ticket : 200k.” 16:16:05 02/01/2012


Oh Man! Untuk manusia perantau dengan uang pas-pasan sekelas saya dua ratus ribu itu berat bukan main, sungguh. Untuk membayangkan berada ditengah gigs saja saya ragu-ragu. Ah, tapi saya yakin Amek pasti mengerti bagaimana keadaan dompet saya seyakin keyakinannya bahwa saya akan menjawab smsnya dengan jawaban sediplomatis mungkin. Seperti biasa. Intinya, saya menjawab akan berikhtiar seirit mungkin demi mengumpulkan 200k tersebut, tak lupa dengan seluruh jari-jari membuka mengajak Dia untuk tinggal di kontrakan jika memang dia benar berangkat berwisata-anti-flag-ria kesini nanti.
***
Kemarin, sore setengah malam, saya benar-benar mentransaksikan uang demi tiket tersebut sekaligus memberantakkan keragu-raguan waktu itu. Bersama dua sejawat-anti-flag (Aqba,Ember) kami bersalam sepakat untuk menukar uang kami dengan sebuah kwitansi yang kelak berujung tiket. Demi nama Justin Sane, semoga apa yang telah kami sepakati tadi tak akan berbuah penyesalan. Amin. Tugas saya setelah ini, mengasah lagi amunisi lirik untuk pasrah sing-a-long di barisan paling depan panggung, 31 Januari nanti. Can’t wait!




Mengenang Anti Flag sama saja mengenang kita, Mek. Juga Antok, Mawut dan Condro. Ada ‘sama dengan’ yang hadir diantara kedua hal itu. Aku ingat ketika kita bersama-sama menyelancari internet dibilik warnet yang sama untuk membayar rasa ingin tahu kita tentang apa yang terjadi di Seattle, pasca kita mendengarkan Seattle Was a Riot mereka. Oh ya, ingat juga kan waktu di gigs pertama kita manggung? Ketika kita setengah bingung akan pinjam lagu bertajuk Fuck Police Brutality mereka atau tidak. Juga saat ketika kita memenuhi tracklist mp3 player-nya Mawut dengan lagu-lagu mereka. Dan tentu hari-hari ketika kita belajar memaknai nilai-nilai yang mereka coba sampaikan. Aku ingat itu. 


Meracau tak jelas memang pas saat malam-malam seperti ini apalagi dipupuk dengan hobi baru saya ngepost di blog yang bisa dibilang baru pula. Jika ente emang tidak jadi  nonton tanggal 31 Januari nanti, Mek, tunggu saja racauan kulagi tentang invasi mereka di Jakarta ini. Akan saya laporkan apa saja yang bisa mereka lakukan di Indonesia besok.

Tuesday, January 17, 2012

Gejala Merantau


Begitu lama aku dan kalian terpisah oleh jarak. Tak main-main, ribuan kilo.
Jauh disana, bagaimana kabar kalian, kawan?
Mungkin begitu banyak cerita yang telah tercipta, meski tanpa aku menaruh peran.
Mungkin pula begitu banyak momen telah mengisi memori, meski hanya seklumit aku menyaksi.
Aku tahu, semua ini hanya karena jarak. Aku disini dan kalian disana.
Asli, malam ini aku ingin menghabisi malam dengan kalian. Seperti malam-malam yang lalu.
Ketika aku dan kalian, ya, kita ‘harus’ menunaikan rutinitas periodik tak beratur.
Duduk bersama, ngalor-ngidul ngomong-kosong, berwacana, ngolok-olok, diskusi dan berujung tertawa dan tertawa.
Men’tai-kucing’kan waktu yang memang belum kita anggap begitu penting.
Ketika kita berbincang tentang perempuan idaman atau sesekali berbicara tentang rumus matematika yang tak pernah begitu menarik.
Ah, semua pernah kita bicarakan, kan?
Dari seorang Marsinah hingga Gandhi.
Carera hingga Ozawa.
Corel hingga screen dan rakel.
Stiker hingga emblem yang kita bagi-bagikan.
Toko pakaian setengah pakai hingga terpaksa ke gerai-gerai mall.
Vicious hingga ‘dewa’ punk diperempatan sebelah SMA kita.
Berceloteh hingga ber’sabda’ tentang idealisme.

Kapan kita touring lagi? Seperti saat ke Kopeng dulu yang bahkan kita belum tau ada wisata apa disana. Atau saat kita menjajal keramaian tahun baru disebuah pantai di Gunung Kidul yang ternyata  tak lebih dari lima puluh batok jidat disana. 

Aku ingat salah satu dari kita pernah berkata bahwa dalam teman dan pertemanan itu berlaku hukum seleksi alam, aku tak mau hilang dari kalian. Sekedar dari monitor 14 inci ini aku mengikuti evolusi-evolusi kalian. Hingga pada momen saat kita bertemu nanti aku tak begitu congak melihat kalian setelah kenyang dengan ilmu-ilmu baru yang kalian pelajari dari manusia-manusia dan kejadian-kejadian baru disekitar kalian.
Kita telah menyepakati bahwa beberapa hal memang harus berubah, namun untuk  beberapa hal pula berkali lipat baiknya bila tetap bertahan sama, seperti pertemanan ini.

Kawan,  demi segudang momen dimana kita menghisap sebatang canda dan menyeduh secangkir tawa bersama. Adakah remah pada secuil rindu yang kalian sisakan untukku? Aku tak sabar untuk berkumpul dan bergumul menanti pagi bersama kalian lagi. Mari! 

Friday, January 13, 2012

Panjang Umur, Sam!

Mengapa masih bilang 'Fu*ck America' kalau kita semua memang bangga dengan amerika, eh, Amerika. Atas nama kekinian, sepertinya teks sumpah pemuda memang sudah layak diganti.

Armada Racun - Amerika