Friday, October 12, 2012

Monolit : Basa dan Basi


Ini bukan saya. Ini kamu. Ya, anggap saja kamu. Saya terlalu malas meracau bulan-bulan ini, jadi kamu saja. 

Entah paceklik atau malah terlalu banyak mikir, hasilnya sama saja, tak ada hasil. Iya kan?

Silakan seenak-udelmu jika kau mau bicara cinta. Tapi sepertinya kamu tak ahli. Garis bawahi sepertinya lho ya. Kamu sendiri yang membuktikan serampangannya sompralmu kala dulu kau bilang kejar cinta itu tak butuh basa-basi. Hahahahaa, kan benar kamu terlalu gegabah. Satu langkah yang kau ambil terlalu jauh ke depan. Tanpa preambule macam—‘silakan makan dulu!’ ‘ah, tidak usah repot-repot, tadi sudah kok!’ dan kau makan juga. Hahahahaa kan benar langkah gilang-gemilang-usah-perlu-basa-basi-maju-bersinarmu bikin dia lari. Seribu langkah menjauh. Maka  harus kembali dulu ratusan langkah jika kebal malu lalu mulailah beramah-tamah terhadap basa-basi, atau kibarkan saja bendera putihnya! Mau tak mau. Kamu pula yang salah langkah, kamu pula yang terlanjur malu, maka sembunyikan saja rupamu di sempak jika bertemu lagi. Hahahahaa, mau apa kamu sekarang?

Sigur rós atau mogwai sama saja, semua bikin kamu biru. Apa lagi ini dini hari. Altar para tersingkir mencoba menyampaikan semua yang tak tersampaikan dalam keramaian. Kamu menyepakati bahwa sunyi itu dini hari, disaat otakmu dibisingkan oleh apapun yang kamu pikirkan. Kamu pasti lagi mengevaluasi otakmu. Asal kamu tahu, banyak orang yang yang mencari sesuatu dari luar diri mereka sekedar untuk mengkambinghitamkan kekalahannya. Bukan kamu. Jangan kamu. Ini semua kamu, ini semua akibat kamu sendiri. Jika Pram tak metolelir basa-basi lagi itu karena hidupnya terlalu kenyang terhadap kekecewaan, sudah habis kepercayaannya atas basa-basi yang selalu diluhurkan demi terlihat manusiawi. Sehingga basa-basi hanya tai di kuku kelingking baginya.

Jika kamu terlahir sebagai seorang jepang, semoga bukan karena hal seremeh ini kau ambil pedang dan menghunus perutmu sendiri. Aku tak paham betul pola pikir mereka dan seberapa mahal harga diri mereka, namun jika yang seperti ini bisa benar alasan harakiri, maka kamu adalah yang begitu beruntung hidup di sini dan sempat dikenalkan dengan Tuhan, sehingga disaat tak kau temukan kekokohan dimanapun termasuk kedalam dirimu, maka kau selalu punya jawaban akhir kemana harus bertumpu : Tuhan. Keluh dan panjatkanlah sepuasmu!


Sudah dengarkan saja musikmu lalu kamu tidur.

Friday, August 3, 2012

Taman Bermain Waktu


Kamu tahu, ini judul saya maling dari Melbi. Kata orang hidup hanya selewat. Numpang nyeruput secangkir fana, setelah itu dihukum neraka atau dihadiahi surga atas bagaimana cara kamu menikmati isi cangkirmu. Kemudian menjadi abadi, bukan belaka. Ah, kau sih enak! Diantara selewatnya kau boleh menghirup udara untuk berlama-lama menikmati isi cangkirmu tanpa ongkos. Sesukamu, tanpa perlu mengenal istilah ‘jauh dekat dua ribu’ atau apalah. Filantropis bukan main, kan?

Hari ini adalah tiga bulan delapan yang kau lalui ke dua puluh empat kalinya untuk dua puluh tigamu. Persetan kau mau menganggap ini hari biasa atau mau menyakralkannya, sini tak ucapi selamat ulang tahun! Semoga hirupan-cuma-cumamu selama ini, esok, lusa hingga lusanya lagi­—selama masih dibolehkan menghirup­—kau bisa berguna bagi dirimu juga apapun disekelilingmu atau mungkin berguna buat orang asing diluar sana sehingga kau layak mendapat ‘semoga panjang umur’ dari mereka.  

Hari ini adalah tiga bulan delapan yang kau lalui ke dua puluh empat kalinya untuk dua puluh tigamu. Pergilah ke kamar! Setel musikmu, volumenya tak perlu gaspol untuk menemukan refleksi dirimu. Jangan terburu mereparasi jika belum mampu. Alon-alon waton kelakon, yang ini kata leluhur kita. Kenali dirimu dulu sudah lebih dari cukup, kan ya?

Siapkan obrolan menarik, saya segera pulang. Tangan sudah tak sabar untuk ‘menganiaya’, mulut sudah tak sabar untuk ‘mengolok’. Beranda dan sore hari juga sudah tak sabar untuk menemani berbagi definisi atas dikotomi ‘benar dan salah’ dengan jenaka.

Sudah ah, tiga akan segera menjelang empat. Terpenting : Hajar skripsimu! Konon kau percaya itu harga yang harus lunas terbayar untuk sepasang sayap ikarusmu. Niscaya.

Saturday, July 21, 2012

pasivis yang bukan gandhi


bicara tentang ...

siapa bajingan mau peduli. bicara paha dan list gadis tercumbu pasti lebih menarik. hey, dari mana asal lebam diwajahmu? ayo cari! ayo balas! bikin seribu lebam dibadannya.


bicara tentang ...
siapa kopral bakal peduli. rakit M700 siapkan serdadu barang tentu lebih menggebu.
berangkat perang. saatnya pamit kecup kening istrimu.
bicara tentang …
siapa demonstran bakal peduli. botol bensin dan kain, bikin bersin DPR aslilah lebih asik.
ban sudah terbakar, saatnya kau robohkan pagar. sudah siap gontok aparat?
bicara tentang titik titik berisi apapun
bakalan orang apatis juaranya peduli. peduli bagaimana untuk tak peduli. berpikir bagaimana menjadi tak terpikir. acuh bagaimana agar selalu tak acuh.

Monday, July 16, 2012

Pinjam korek api, boleh?


apa bung satu itu akan menuliskan kecemasannya dalam 'Indonesia Menggugat' jika tak ada Naar de Republiek Indonesia? bakal kau tahu siapa Punakawan jika tak ada Mahabarata? apa hari ini kau akan kenakan boots dan rambut manusia indian jika paman malcolm tidak  merancang sex pistols? bukan, setahuku bukan keluarga ramone yang membuat begitu mewabah. bukan soal siapa mendahului. lalu apakah kau akan gambari punggung tanganmu dengan 'X' untuk setiap anti minuman setan jika sekelompok anak dibawah umur yang menjajal panggung di sebuah pub San Francisco sana tidak ditandai x pula di tangannya?  bahkan siapa yang kenal Regina Idol atau Citra Idol jika tak ada American Idol si pelopor? dan rokok mana yang akan menyala jika tak kau dapati koreknya.

jangan bermain api jika tak mau terbakar. 

itu katanya. berarti carilah api hingga ke kolong-kolong manapun jika ingin terbakar. kan ya.

Tuesday, June 26, 2012

teruntuk


jangan katakan telunjukmu telah menunjuk
sebab tawamu akan menyandung tawaku
merujuk suaka dalam lamun
jatuh 
bangun lagi
jatuh lagi
tertimpa


*ketika duduk di suatu pagi yang kedinginan

Monday, June 25, 2012

Panjang Umur, Sam! #2

Dari A hingga Z begitu pekat satire. Silakan kalian artikan sendiri :)  
Then absolutely yes, We're all living in America! 


Rammstein - Amerika



Saturday, June 2, 2012

dini hari, tenggelam dalam anamnesis



Jika mereka menyebut ini insomnia, saya akan menyebutnya sebagai rutinitas. Diantara puluhan folder yang ter-hadap ini saya memilih anamnesis milik melancholic bitch untuk mengakhiri hari yang memang seharusnya sudah berakhir beberapa jam lalu. Maka dalam sebelas lagu ini saya akan tenggelam, sebelum terbit dan kembali menikmati setanak takdir untuk saya setelah bangun nanti. Amorfati.
***


jika tak ada jalan keluar 
pada apa kita kan menghindar  
dan susunan bahasa yang kau enggan   
adalah perca yang ingin kuselesaikan  


jika tak ada lagi suntik penenang  
pada setiap perih yang kau simpan 
dan seluruh kenangan yang kau genggam 
menyirat luka yang semakin lama semakin mendalam.


bernapaslah denganku, kuberjanji kita tak kan terengah.


*melancholic bitch – requiem (anamnesis 2005)

Monday, May 21, 2012

hippiposeur


hey bapak yang di situ, baju saya merah lho
hey para ibu yang sedang ngobrol, blue jeans saya di roll-up lho
hey om Surya, sepatu saya Adidas lho
hey tante Norma, tas saya baru dibeli dari Bandung lho
hey hey, kalian harus tahu ini..

apa kabar, Don? berkreasi adalah hobi baru saya lho
apa kabar, Pak RT? dulu saya pernah ke Singapura lho
apa kabar, Bu Guru? rock n roll life itu begini lho
apa kabar, Susi? saya punya buku Dee terbaru lho
hey hey, kalian harus tahu ini..

wahai pohon-pohon, ingatkah bahwa kalian selalu saya sirami
wahai para burung, hanya aku yang selalu menyimak kicau kalian
wahai sampah-sampah, akulah yang menaruh kalian pada tempat yang tepat
wahai manusia, aku orang yang berbeda dengan kebanyakan kalian

kalian harus tahu ini
kalian harus tahu ini

hingga semua serba

"kalian harus tahu ini" 

Sunday, May 13, 2012

Ketika Aku dan Aku Bercakap


Entah apa yang salah dengan belakangan ini, beberapa hal begitu tak semenarik yang ada dipikirannya. Semua menjadi begitu absurd ketika menyadari hasrat yang menggunung ternyata sama taiknya seperti wacana yang membasi. Pikirku. Kini dalam setiap duduk manisnya, ia adalah saksi dari setiap kesempatan yang kempis selajur dengan hari-hari ditempat itu yang semakin menipis. Dan, duh Gusti, dia masih menemukan dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa selain berkeluh meski terlihat tanpa peluh.

Dalam hari-hari seperti inilah tatkala sepenggal sabda seorang Adimanusia—ah entah, apakah benar-benar ia pahami atau tidak namun—begitu ia amini.

“Lihatlah! aku telah jenuh oleh kebijaksanaanku seperti lebah yang telah mengumpulkan madunya terlalu banyak; aku memerlukan tangan-tangan yang terjulur untuk mengambilnya,” ucapnya seolah-olah dirinya lah Sang Zarathustra itu.

“Tidak, kau bukanlah orang itu," sahutku. "Jalanmu masih terlalu pendek untuk sekadar melampaui dirimu sendiri apalagi segenap manusia yang tertidur. Setengah darimu memang terjaga, tapi lihatlah separoh lagi masih nyaman dalam ranjang empukmu. Dibelai-belai mimpi yang membiusmu seluruhnya. Lalu sebanyak apa madu yang kau bisa berikan pada manusia? Bahkan untuk menagih asa-asamu saja kau masih tak mampu,” ucapku geram.

Ada hening saat diriku menduga-duga sompral mana lagi yang akan disampaikannya. Sepertinya kataku barusan terlalu entah. Seandainya aku diposisinya pasti dia akan merasakan pula dirinya ada pada posisiku. Aku menyaksikan dirinya dibisingkan oleh pikirannya sendiri. Disepikan oleh lamunnya. Dia bukanlah aku, aku tak begitu paham makhluk apa mana yang ada dalam alam pikirannya. Tapi dia adalah aku, dia tahu aku tak mengerti bahwa aku mengerti. Serumit itu.

Mungkin benar ucap kawannya disuatu perbincangan melalui pesan singkat yang ia ceritakan padaku kemarin. Inilah lelah. Ada suatu kala dimana manusia lelah terhadap hidup, lingkungan atau apa yang ada disekitarnya. Hidup tidak harus terus berlari, terkadang kita boleh berjalan atau bahkan sekedar jogging di tempat.
..yang pasti jangan berhenti.”

Dan ketika kuajak beranjak menjauhi tembok bercermin ini, entah apa yang salah dengan kata-kataku tadi. Barangkali telah menyinggungnya.

Dia hilang tanpa berpatah kata.

Saturday, April 28, 2012

Sikap!

Deru amarah akhirnya meluap. Ulah Dursasana kali ini tak termaafkan lagi. Sang Bratasena terbakar. Dursasana seharusnya tahu bahwa dirinya telah melakukan sebuah kesalahan besar. Dia telah melempari molotov kedalam diri Bratasena. Fatal.
"Camkan, Aku tak akan mati sebelum kusayat-sayat dadamu dan kutenggak setiap darahmu, Dursasana!" Di tengah ruangan itu akhirnya Bratasena memekik sumpah. 
Populasi suara yang sedari tadi begitu padat sekejap melenyap. Juga hening yang kedatangannya melenyapkan ramai pun tak betah hadir lama-lama. Guruh dan petir akhirnya menyambar-nyambar, semua yang hadir di tempat itu menduga bahwa sumpah Bratasena telah diamini oleh Dewa-dewa di Suralaya.
Tak berhenti, istri Puntadewa, Dewi Drupadi yang diseolah-olahkan mainan oleh Dursasana pun mengikrarkan sumpahnya.
"Aku tak akan bergelung sebelum berkeramas menggunakan darahmu, Dursasana!"
Dursasana bergedig.

Friday, April 20, 2012

sebuah laman yang menjuluki diri sebagai malaikat yang terbuat dari kertas


konon mereka tercipta dari nur
dan kau hanyalah ejawantah dari tulang rusuk satu manusia

konon mereka pun bersayap
dan kau tahu sayapmu adalah pena, 

maka terbanglah
bukankah menarik mengarungi awan-awan imaji itu 
ada jalan untuk menggayuki ranting mimpimu
hingga ke pelupuk

bila lelah, jangan enggan singgah dibumi kembali
disini, di tempatku belajar menapak kokoh
tanpa terpapah kiri dan kanan

lalu kemana lagi akan kau kepak sayapmu?
dengarlah dulu saat-saat jemarimu mulai menari
ada sayup genderang menghujam dari rentetan alfabetmu
berirama, membentuk ode bagi apapun yang bisa mendengarnya

sesering ini aku menunggu suara itu.
mengintip angkasa aksaramu
menunggu ceritamu
tentang yang kau lihat dari atas sana

berlipat-lipat babak
episode tak terhitung
terjuntai mengisah
menawarkan emosi 
lalu

menjalar, hingga 
mengadiksi.

Tuesday, February 21, 2012

Selamat!

Hujan sepertinya tak pernah kenyang memakan hari-hari beberapa bulan terakhir, sama halnya malam ini hujan juga tak kunjung mau berhenti. Hal-hal semacam ini yang kadang memaksa kita untuk  membiarkan ‘wacana’ yang telah kita buat akan kembali berakhir menjadi sekedar wacana belaka. Seperti biasa. 

Dari pada mengutuk hujan, malam ini saya lebih memilih duduk manis dan mangais file-file musik yang bersembunyi diantara belantara folder di hardisk sembari menikmati hidung yang semakin tak nyaman untuk bernafas karena diganggu flu.

Februari adalah bulan istimewa. Banyak kisah yang lahir disini, banyak kelahiran yang menjadi kisah  dibidani dibulan ini. Banyak pula orang tua berhutang inspirasi karena telah menamai anak-anaknya dengan menyomot sedikit-banyak susunan huruf pada nama bulan ini. Februari.

Beberapa hari yang lalu baru saya sadar. Tak sedikit dari kawan, orang-orang yang masih/pernah berada disekitar saya, orang-orang yang saya kagumi, pula manusia-manusia yang namanya tak lelah lalulalang dipikiran saya, ternyata mereka berulang-tahun dibulan ini. Atas nama ini dan itu, hari ini saya meramu semacam playlist untuk menemani saya menghabisi Februari ini. Sekedar bentuk lain dari ucapan terima kasih karena energi positif yang selalu kalian sulut baik secara sadar maupun tak kalian sadari. Sekedar bahasa lain dari ucapan terima kasih atas kewarasan dan kegilaan yang bisa kalian hadirkan pada waktu yang tepat. 

"Selamat Berulang Bulan, Februari! Semoga Sang Penyortir Doa, sedang berbaik hati mengabulkan semua harapan dibulan mu."


1.        Seringai – Berhenti di 15

Lagu yang laik diledakkan saat pertama kali membuka mata di hari ulang tahun. Terlalu tua sering jadi alasan untuk tak melakukan kegilaan. Oh tidak, berapa kalipun hari lahir yang kita lalui, tetaplah merasa 15 dan bergegaslah tumbuh meski tanpa harus menjadi tua.
2.        Ramones – Happy Birthday

Hari ulang tahun dan lagu ini adalah upacara dan lagu Indonesia Raya. Bedanya, kita tak perlu berbasa-basi mengangkat tangan hormat untuk mensakralisasi hari ulang tahun. Dan Ramones punya alternatif untuk menjadi khidmat dalam meluhurkan hari ulang tahun kalian. Selamat Ulang Tahun!
3.        Dewi Lestari - Selamat Ulang Tahun
4.        Altered Images - Happy Birthday
5.        Indie Art Wedding - Hidup Itu Pendek Seni Itu Panjang

Hidup itu pendek, tapi seni itu panjang. Jika sepakat, mari berkarya. Mari membahasakan ide-ide kita dengan cara-cara yang kita bisa. Konon, ide-ide akan bernyawa berkali lipat melebihi umur manusia itu sendiri.
6.        Jens lekman - Happy Birthday, Dear Friend Lisa
7.        The Sugarcubes - Birthday
8.        Imperial Teen – Birthday Girl
9.        The Idle Race - The Birthday

10.      NOFX - New Happy Birthday Song 
     Pada akhirnya kita semua harus bercermin, sekedar menengok kembali kebelakang dan mencari jawaban atas kenyataan apakah kita sudah lebih baik, apakah kita sudah bisa berarti bagi diri kita sendiri. juga bagi sekeliling kita. atau kita masih menemukan diri kita laik untuk didendangkan lagu ini oleh seseorang.

Monday, January 30, 2012

Rumah Kaca


Dulu sekali, Pram menyebut ini sebagai politik ‘perumahkacaan’. Dimana setiap tindak yang digiatkan oleh para aktivis pergerakan pada waktu itu akan dimonitor, diawasi. Pemerintah kolonial menebar mata radar mereka disetiap manapun untuk merekam seluruh aktivitas dan pemikiran-pemikiran yang ditulis-sebar melalui surat kabar oleh para aktivis tersebut untuk kemudian diarsipkan, hingga pada kalanya apabila suatu aktivitas telah difatwa mengancam sekilas akan dihabisi.

Hari ini aku melihat sedikit kesamaan: kamu dan para aktivis itu, aku dan para penyebar mata radar itu. Kamu masuk dalam rumah kacaku, kurumah-kacakan. Hanya karena kamu berbeda dari kebanyakan mereka, itulah pembenaran yang kutemukan. Kamu, tulisanmu dan juga buah-buah pikiranmu telah menjadi candu bagiku. Selain makan, tidur dan segala rutinitas statis lainnya, kini kutambahkan rutinitas hariku, sekedar beberapa menit aku tak akan lupa untuk mendamparkan diri ke pulau mayamu. Pulau tempat buah pikiranmu kau semai. Inilah aku, aku yang ingin menjadi saksi benih-benih itu tumbuh. Dan ada kalanya kucuri diam-diam biji dari sana untuk kutanam ditanah gersangku. Entah, jika ini salah, aku hampir tak peduli. Jangan larang aku. Biarkan tanahku ikut menghijau.

Friday, January 27, 2012

"Meledakkan" Senayan 31 Januari Besok



HP yang diam manis didalam saku  tiba-tiba bergetar. Demi hal seremeh-temeh eksistenisal, bergegas saya keluarkan dari saku lalu mengecek dan heyho, ternyata ada sepucuk sms dari seorang kawan lama, Amek.

“ANTI-FLAG live in Jakarta Indonesia at Bulungan Outdor 31 Januari 2012 start at 15.00 WIB. Ticket : 200k.” 16:16:05 02/01/2012


Oh Man! Untuk manusia perantau dengan uang pas-pasan sekelas saya dua ratus ribu itu berat bukan main, sungguh. Untuk membayangkan berada ditengah gigs saja saya ragu-ragu. Ah, tapi saya yakin Amek pasti mengerti bagaimana keadaan dompet saya seyakin keyakinannya bahwa saya akan menjawab smsnya dengan jawaban sediplomatis mungkin. Seperti biasa. Intinya, saya menjawab akan berikhtiar seirit mungkin demi mengumpulkan 200k tersebut, tak lupa dengan seluruh jari-jari membuka mengajak Dia untuk tinggal di kontrakan jika memang dia benar berangkat berwisata-anti-flag-ria kesini nanti.
***
Kemarin, sore setengah malam, saya benar-benar mentransaksikan uang demi tiket tersebut sekaligus memberantakkan keragu-raguan waktu itu. Bersama dua sejawat-anti-flag (Aqba,Ember) kami bersalam sepakat untuk menukar uang kami dengan sebuah kwitansi yang kelak berujung tiket. Demi nama Justin Sane, semoga apa yang telah kami sepakati tadi tak akan berbuah penyesalan. Amin. Tugas saya setelah ini, mengasah lagi amunisi lirik untuk pasrah sing-a-long di barisan paling depan panggung, 31 Januari nanti. Can’t wait!




Mengenang Anti Flag sama saja mengenang kita, Mek. Juga Antok, Mawut dan Condro. Ada ‘sama dengan’ yang hadir diantara kedua hal itu. Aku ingat ketika kita bersama-sama menyelancari internet dibilik warnet yang sama untuk membayar rasa ingin tahu kita tentang apa yang terjadi di Seattle, pasca kita mendengarkan Seattle Was a Riot mereka. Oh ya, ingat juga kan waktu di gigs pertama kita manggung? Ketika kita setengah bingung akan pinjam lagu bertajuk Fuck Police Brutality mereka atau tidak. Juga saat ketika kita memenuhi tracklist mp3 player-nya Mawut dengan lagu-lagu mereka. Dan tentu hari-hari ketika kita belajar memaknai nilai-nilai yang mereka coba sampaikan. Aku ingat itu. 


Meracau tak jelas memang pas saat malam-malam seperti ini apalagi dipupuk dengan hobi baru saya ngepost di blog yang bisa dibilang baru pula. Jika ente emang tidak jadi  nonton tanggal 31 Januari nanti, Mek, tunggu saja racauan kulagi tentang invasi mereka di Jakarta ini. Akan saya laporkan apa saja yang bisa mereka lakukan di Indonesia besok.

Tuesday, January 17, 2012

Gejala Merantau


Begitu lama aku dan kalian terpisah oleh jarak. Tak main-main, ribuan kilo.
Jauh disana, bagaimana kabar kalian, kawan?
Mungkin begitu banyak cerita yang telah tercipta, meski tanpa aku menaruh peran.
Mungkin pula begitu banyak momen telah mengisi memori, meski hanya seklumit aku menyaksi.
Aku tahu, semua ini hanya karena jarak. Aku disini dan kalian disana.
Asli, malam ini aku ingin menghabisi malam dengan kalian. Seperti malam-malam yang lalu.
Ketika aku dan kalian, ya, kita ‘harus’ menunaikan rutinitas periodik tak beratur.
Duduk bersama, ngalor-ngidul ngomong-kosong, berwacana, ngolok-olok, diskusi dan berujung tertawa dan tertawa.
Men’tai-kucing’kan waktu yang memang belum kita anggap begitu penting.
Ketika kita berbincang tentang perempuan idaman atau sesekali berbicara tentang rumus matematika yang tak pernah begitu menarik.
Ah, semua pernah kita bicarakan, kan?
Dari seorang Marsinah hingga Gandhi.
Carera hingga Ozawa.
Corel hingga screen dan rakel.
Stiker hingga emblem yang kita bagi-bagikan.
Toko pakaian setengah pakai hingga terpaksa ke gerai-gerai mall.
Vicious hingga ‘dewa’ punk diperempatan sebelah SMA kita.
Berceloteh hingga ber’sabda’ tentang idealisme.

Kapan kita touring lagi? Seperti saat ke Kopeng dulu yang bahkan kita belum tau ada wisata apa disana. Atau saat kita menjajal keramaian tahun baru disebuah pantai di Gunung Kidul yang ternyata  tak lebih dari lima puluh batok jidat disana. 

Aku ingat salah satu dari kita pernah berkata bahwa dalam teman dan pertemanan itu berlaku hukum seleksi alam, aku tak mau hilang dari kalian. Sekedar dari monitor 14 inci ini aku mengikuti evolusi-evolusi kalian. Hingga pada momen saat kita bertemu nanti aku tak begitu congak melihat kalian setelah kenyang dengan ilmu-ilmu baru yang kalian pelajari dari manusia-manusia dan kejadian-kejadian baru disekitar kalian.
Kita telah menyepakati bahwa beberapa hal memang harus berubah, namun untuk  beberapa hal pula berkali lipat baiknya bila tetap bertahan sama, seperti pertemanan ini.

Kawan,  demi segudang momen dimana kita menghisap sebatang canda dan menyeduh secangkir tawa bersama. Adakah remah pada secuil rindu yang kalian sisakan untukku? Aku tak sabar untuk berkumpul dan bergumul menanti pagi bersama kalian lagi. Mari! 

Friday, January 13, 2012

Panjang Umur, Sam!

Mengapa masih bilang 'Fu*ck America' kalau kita semua memang bangga dengan amerika, eh, Amerika. Atas nama kekinian, sepertinya teks sumpah pemuda memang sudah layak diganti.

Armada Racun - Amerika